2 min read

3 Jam Bermain God Eater yang ternyata biasa-biasa saja,

3 Jam Bermain God Eater yang ternyata biasa-biasa saja,

Saya membuat 3 kategori sebuah game, yang pertama game yang gak perlu dimainkan, game yang ragu-ragu dimainkan, dan terakhir game yang harus dimainkan. Ketiganya berdasarkan asumsi setelah nonton trailer dan review, kadang posisi si game berubah dari yang ragu-ragu jadi wajib main dan sebaliknya, dan si God Eater berada di tipe yang kedua, setelah dimainkan tetap di tipe yang sama.

Mumpung Gratis

Bagi pelanggan PS+ game gratis di bulan Desember dari Playstation dapat jatah God Eater 2 Rage Burst ( ini aneh, di halaman Library PS4 cuma ada God Eater 2 Rage Burst, tapi pas dowload dapet juga God Eater Resurrection ) dan Gravity Rush 2. Cukup gembira, soalnya sempat kepikiran ingin coba beli God Eater tapipak ragu-ragu, takut tidak terlalu rame. Untung ada PS+. Saya memainkan God Eater dua-duanya untuk coba-coba dan membandingkan.

Konsep

Jika dilihat dari konsep sebenarnya God Eater ini sudah cakep, dunia fantasi yang sudah kebentuk, monster-monster yang beragam, dan senjata berukuran ekstra besar dan unik. Tapi gameplaynya biasa aja ~

Dalam game ini kita memainkan original karakter, saya cukup suka kalau ada original karakter gini, bisa berkreasi terhadap bentuk fisik dan visual karakternya. Karakter kita ini adalah kadet baru God Eater, pasukan/orang yang bertugas untuk membasmi Aragami — istilah monster di game ini — dengan senjatanya yang disebut God Arc.

Setelah selesai membangun rumah tangga karakter, kita akan diarahkan langsung ke markas Fenrir semacam organisasi pembasmi kebatilan Aragami, di sinilah kebosanan melanda.

Selama 3 Jam ( akumulasi dua game God eater ) gameplaynya mirip, karakter kita akan memilih quest di resepsionis(?) lalu setelah memilih quest kita berjalan ke gerbang dan otomatis kita di-transfer ke lokasi untuk membantai monster. Udah gitu aja diulang-ulang, yang membedakan banyaknya monster, map, dan jenis monsternya. Saya pikir berpetualang begitu tahunya cuma transfer-transfer map saja, apa saya kurang lama mainnya? Tapi ya keburu bosen.

Game ini ketolong ama kontrol dan gimik-gimik di dalamnya, kontrol karakternya gampang gak ribet pas mode beratarungnya, senjatanya yang disebut God Arc itu pun memiliki empat mode, Melee, Range, Defend, Spesial ( saya gak tahu istilahnya untuk yang terakhir ).

Seperti yang saya sebut di atas, selain dunia yang sudah kebentuk dan bentuk monster yang cukup keren, nilai plus di game ini adalah senjatanya, misal untuk mode melee ada banyak tipenya juga, yang tebas seperti pedang, atau menusuk seperti tombak, atau penghancur macam palu.

Tadi saya sebut mode ‘spesial’ kan? Nah pada mode ini, senjata akan berubah menjadi seperti monster yang “memakan” bangkai monster yang dikalahkan, saat si mode spesial ini makan bangkai, maka beberapa komponen monster tersebut akan kita dapatkan, komponen-komponen monster yang dikoleksi tadi bisa kita gunakan untuk memodifikasi senjata. Jujur saja saya main ini daripada ngambil quest lebih sering otak-atik atau modifikasi senjata.

Saya berharap game ini sebenarnya berupa adventure rpg gitu macam Horizon Zero Dawn bukan cuma transfer ke battle map, habisi monster, balik ke markas, laporan, ambil quest lagi, tranfer ke battle map, habisi monster, balik ke mark…

Apakah begitu terus? Saya tidak tahu, lah saya cuma maen kurang lebih 3 jam, soalnya pas lagi maen tiba-tiba di layar ada pemberitahuan bahwa Dragon Quest sudah selesai semua diunduh dan bisa dimainkan, ya saya maen Dragon Quest jadinya.

Jadi game ini gimana? Bagi saya game ini cukuplah untuk dipake menungggu sesuatu daripada gabut. Tapi kalau beli saya sih hmm pikir-pikir dulu dah, untung saja ini gratis.