2 min read

#KaburAjaDulu

#KaburAjaDulu
Photo by Kyle Glenn / Unsplash

Sudah tidak tahan ingin ikut berkomentar mengenai #KaburAjaDulu. Beberapa hari terakhir, tagar tersebut berseliweran di berbagai media sosial. Dari yang awalnya hanya muncul di kalangan tertentu, lalu meluas hingga dianggap tidak nasionalis—sungguh perjalanan tagar yang sangat jauh.

Tapi saya di sini hanya ingin berkomentar: mengapa #KaburAjaDulu menjadi sangat dipermasalahkan, bahkan hanya dianggap sebagai permasalahan kelas menengah saja? Menurut saya, #KaburAjaDulu sudah dilakukan jauh-jauh hari, bahkan sebelum tagar ini muncul. Dan seharusnya, ruang lingkupnya tidak bisa hanya dipersempit menjadi sekadar kabur ke luar negeri.

Munculnya tuduhan tidak nasionalis karena kabur ke luar negeri, atau dianggap egois karena ini hanya menjadi cara kelas menengah untuk kabur tanpa ikut serta memperbaiki keadaan, terdengar agak lucu bagi saya. Kenapa lucu? Karena apakah tuduhan egois juga berlaku untuk mamang-mamang tukang cukur di Jakarta yang kabur dari Garut? Atau apakah tuduhan yang sama juga berlaku untuk Aa-Aa yang jaga warmindo?

Sejak dulu, konsep "kabur aja dulu" sudah ada. Kalau tidak ada, saya yakin orang-orang lebih memilih tinggal bersama keluarga dan teman terdekat. Tapi jangankan ke luar negeri, coba tanya saja: kenapa orang-orang mencari pekerjaan selalu ke Jakarta? Memangnya di kota atau desa mereka ada masalah apa?

Kita bisa melihat seberapa banyak orang yang "kabur" dari kota/desa mereka setiap kali musim mudik lebaran tiba. Bagaimana keadaan Jakarta? Dari yang begitu padat, tiba-tiba menjadi begitu lengang. Dari yang macet sampai kepala panas, tiba-tiba lancar tanpa hambatan. Lalu, kenapa banyak yang bisa menerima orang-orang "kabur" ke Jakarta, tapi marah-marah ketika ada yang memilih kabur ke luar negeri?

Saya sendiri adalah produk lokal dari "kabur". Dari Bandung ke Jakarta. Tidak istimewa memang, tapi pada saat itu, Jakarta adalah kota yang bisa menawarkan gaji lebih kompetitif serta lingkungan yang mendukung pertumbuhan karir. Di Bandung, ketika ada acara malam hari, hal kecil seperti transportasi bisa menjadi masalah besar. Apakah angkot masih ada sampai malam? Apakah angkot akan berjalan lancar, atau saya akan diturunkan di tengah jalan? Sementara di Jakarta, hal seperti itu bisa diminimalisir karena sudah ada kepastian mengenai jadwal TransJakarta, ada opsi KRL juga. Jadi, bahkan waktu itu, walau saya baru enam bulan di Jakarta, saya sudah cukup yakin untuk mencoba bertahan di kota ini.

Terus, apakah saya ingin juga "kabur" ke luar negeri? Kalau itu bisa membuat saya lebih baik dan keluarga saya lebih aman, kenapa tidak? Permasalahan saat ini hanya soal skill issue saja, jadi belum berani. Tapi mungkin suatu hari nanti, siapa tahu?

Tapi balik lagi ke permasalahan di awal: bagi saya, #KaburAjaDulu—entah itu dari desa ke kota, dari kota ke kota besar, atau dari kota besar ke luar negeri—itu sama saja. Justru pertanyaannya bukan ditujukan kepada individu yang kabur. Pertanyaan seharusnya diajukan kepada pengelola desa, kota, dan negara:

Kok bisa sih ada warganya, yang meskipun dikelilingi keluarga, kerabat, dan sahabat, tetap memilih untuk kabur?