Saat Anak Didiagnosa Speech delay
Saat anak saya masih berusia satu tahun anak saya cukup sering dipuji oleh tetangga, saudara, dan orang tua. Dipuji jago makannya, pintar karena sudah bisa ini-itu, dan lain sebagainya. Sebagai orang tua tentu sangat senang anaknya banyak dipuji.
Namun ketika menjelang usia dua tahun, kami, terutama istri saya merasakan perkembangan anak cukup stagnan, dari yang asalnya mengoceh menjadi diam, dari yang asalnya jago makan sekarang mengemut. Saat kami berbicara ke orang lain yang ada adalah kalimat yang menenangkan, "ah normal itu", "nanti juga kalau udah gede bisa ko", "anak si anu bahkan belum, ini udah sampai sini, sabar aja". Mungkin mereka memang niat baik tapi kami jadinya semakin denial terhadap perkembangan anak.
Sesaat setelah ulang tahun yang kedua kami masih khawatir dan akhirnya memutuskan untuk memeriksakan anak kami ke klinik tumbuh kembang, setelah pemeriksaan, benar saja anak kami didiagnosa speech delay dengan tingkat fokus yang minim.
Kami diberikan tugas oleh dokter yang memeriksa, antara lain:
- STOP SCREEN TIME UNTUK ANAK
- Ajak anak untuk bermain di luar ruangan, seperti di taman agar anak terbiasa dengan tekstur tanah, rumput dan lainnya. (Touch the grass secara literal)
- Daftarkan anak ke terapi sensori untuk dibantu profesional
Tanpa berkompromi kami segera melakukan itu semua, setibanya di rumah kami hindari penggunaan gawai dekat dengan anak, televisi kami tutup agar tidak dilihat anak. Kami pun mulai sering keluar minggu pagi mencari taman di dekat rumah, dan terakhir kami mendaftarkan anak ke terapi sensori.
Setelah 12 pertemuan terapi sensori, menghindari screen time dan bermain di luar rumah kami melihat perkembangan anak kami sangat pesat
- Kosa kata anak kami bertambah
- Makan kembali mengunyah
- Anak mampu berekspresi terhadap kemaunnya dengan cukup jelas
- Bahkan anak kami sekarang bisa berkomunikasi dua arah secara sederhana
Setelah selesai dengan 12 pertemuan kami kembali ke klinik tumbuh kembang anak dengan membawa surat laporan hasil terapi, hasilnya memang cukup memuaskan, tapi ternyata tidak selesai di sana, sekarang anak kami harus melalui terapi 3 kali seminggu
- Terapi wicara 1 kali seminggu
- Terapi sensori 2 kali seminggu
Dengan catatan, nanti bisa diubah menjadi:
- Terapi wicara 2 kali seminggu
- Terapi sensori 1 kali seminggu
Dan jika perkembangan menjadi lebih baik, bisa saja cukup:
- Terapi wicara 2 kali seminggu
Dan jika perkembangan menjadi lebih baik, bisa saja anak kami mengakhiri sesi terapinya. Perjalanan sepertinya masih panjang, tapi memang tidak ada jalan pintas, semoga kami semua sehat.